Kembali

12 September 2025

Bahasa Hati yang Tak Sama, Memecah Kode Sunyi Antara Pria dan Wanita

PKC PMII Bali Nusa Tenggara
Badrul Muhayat - Bidang Pendidikan, Pengembangan Akademik dan Profesi
Badrul Muhayat - Bidang Pendidikan, Pengembangan Akademik dan Profesi

Mataram, 12 September 2025 - Jauh di dalam diri kita, ada sebuah naskah yang telah kita pelajari seumur hidup, seringkali tanpa kita sadari. Naskah ini membisikkan cara kita seharusnya berjalan, berbicara, merasakan, dan bahkan bermimpi. Ia dimulai dengan sebuah pertanyaan sederhana saat kita lahir: laki-laki atau perempuan? Namun, jawaban atas pertanyaan biologis (seks) itu bukanlah akhir dari cerita. Ia adalah awal dari sebuah proses panjang di mana kita diajarkan untuk menjadi seorang pria atau seorang wanita,sebuah proses pembentukan gender. Jika seks adalah perangkat keras(hardware) yang kita bawa sejak lahir, maka gender adalah perangkat lunak (software) yang ditulis oleh masyarakat, budaya, dan sejarah. Kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, tetapi kita belajar bagaimana cara menjadi maskulin dan feminin.

Proses “pembelajaran” ini meresap ke dalam interaksi kita yang paling awal. Bayangkan seorang anak laki-laki yang terjatuh. Nasihat yang sering ia dengar adalah, “Jangan cengeng, kamu kan laki-laki, harus kuat!” Air mata, sebuah respons manusiawi yang universal, tiba-tiba diberi label “feminin” dan dianggap sebagai tanda kelemahan. Sebaliknya, anak perempuan didorong untuk menjadi anggun, perasa, dan merawat. Sejak kecil, kita diberi buku aturan yang berbeda. Anak laki-laki didorong ke arena kompetitif, dihargai karena kemandirian, dan diajari untuk menyelesaikan masalah. Anak perempuan diarahkan pada dunia relasi, dihargai karena empati, dan diajari untuk membangun koneksi, seperti dalam kisah Bishetta yang dimarahi ibunya karena bermain lumpur sementara saudara laki-lakinya dibiarkan (Wood, 1994).

Naskah yang berbeda inilah yang pada akhirnya melahirkan dua “dialek gender” atau genderlects, sebuah konsep yang dipopulerkan oleh linguis Deborah Tannen. Ketika kita dewasa, kita membawa naskah ini ke dalam percakapan kita. Kita mungkin menggunakan kata-kata yang sama, tetapi kita berbicara dalam bahasa hati yang sama sekali berbeda, yang seringkali menyebabkan kita tersesat dalam kebingungan.

Wanita, yang sejak kecil dilatih dalam seni membangun hubungan, cenderung menggunakan apa yang disebut Tannen (1990) sebagai “Rapport Talk” atau bahasa koneksi. Bagi mereka, percakapan adalah perekat hubungan, sebuah cara untuk membangun keintiman dan merasa tidak sendirian. Saat seorang wanita bercerita tentang masalahnya, tujuan utamanya seringkali bukan untuk mencari solusi instan, melainkan untuk merasa didengar, divalidasi, dan dipahami. Ia sedang berkata, “Aku merasa seperti ini, apakah kamu juga pernah merasakannya? Temani aku di sini.”

Di sisi lain, pria, yang telah dilatih dalam naskah kemandirian dan penyelesaian masalah, lebih akrab dengan “Report Talk” atau bahasa status dan informasi. Dalam dunianya, percakapan adalah alat untuk menunjukkan kemampuan, menegosiasikan status, dan memecahkan masalah. Ketika seorang pria mendengar sebuah masalah, naluri pertamanya adalah menawarkan bantuan dalam bentuk solusi yang konkret. Ini adalah cara ia menunjukkan kepedulian dan cintanya. Ia sedang berkata, “Aku peduli padamu, dan aku bisa membantumu memperbaiki ini.”

Di sinilah benturan yang paling umum terjadi. Seorang wanita yang sedang “curhat” (mencari rapport) merasa diabaikan ketika pasangannya langsung melompat ke mode perbaikan (report). Ia merasa perasaannya dilewati begitu saja. Sementara itu, sang pria merasa bingung dan frustrasi karena solusi yang ia tawarkan sebagai tanda kepeduliannya justru ditolak. Keduanya memiliki niat baik, namun tersesat dalam terjemahan bahasa hati masing-masing.

Kerumitan ini tidak berhenti pada kata-kata. Ia juga termanifestasi dalam tarian isyarat non-verbal yang sunyi. Pria yang diajarkan untuk mengambil ruang akan duduk dengan lebih dominan. Wanita yang diajarkan untuk membangun koneksi akan menggunakan kontak mata yang lebih lama untuk menunjukkan bahwa ia mendengarkan. Bahasa tubuh kita pun mengikuti naskah yang telah kita pelajari.

Lantas, apakah kita selamanya terperangkap dalam naskah ini? Tentu tidak. Memahami semua ini bukanlah untuk memperkuat stereotip, melainkan untuk membongkarnya. Kesadaran adalah langkah pertama menuju kebebasan. Kita bisa mulai mempertanyakan aturan-aturan tak tertulis yang telah kita terima, Apakah benar menangis adalah tanda kelemahan? Apakah benar empati hanya milik perempuan? Jawabannya ada pada konsep androgini, yaitu kemampuan untuk merangkul kualitas terbaik dari maskulinitas dan feminitas dalam diri kita. Ini adalah pengakuan bahwa kita bisa menjadi kuat sekaligus lembut, tegas sekaligus berempati, mandiri sekaligus mampu membangun hubungan yang intim.

Pada akhirnya, tujuan dari komunikasi yang sejati bukanlah untuk membuktikan siapa yang benar, melainkan untuk membangun jembatan pemahaman di atas jurang perbedaan kita. Ini dimulai dengan kesadaran bahwa lawan bicara kita mungkin datang dari “dunia” yang berbeda, dengan naskah yang berbeda pula. Alih-alih langsung menyimpulkan, kita bisa berhenti sejenak dan bertanya dengan tulus, “Apa yang sebenarnya kamu butuhkan dariku saat ini? Apakah kamu butuh didengarkan, atau butuh solusi?”

Dalam pertanyaan sederhana itulah, kehangatan dan koneksi yang kita semua dambakan sering kali ditemukan. Kita belajar untuk tidak hanya mendengarkan kata-kata, tetapi juga menerjemahkan bahasa hati di baliknya, menciptakan sebuah tarian komunikasi yang lebih harmonis, lebih utuh, dan jauh lebih manusiawi.

Sumber

Tannen, D. (1990). You just don’t understand: Women and men in conversation. William Morrow.

Wood, J. T. (1994). Gendered lives: Communication, gender, and culture. Wadsworth Pub. Co.

Bagikan Rilis