22 July 2025
Menagih Janji, Mengawal Arah: Ketika NTB Berada di Persimpangan Krusial

Nusa Tenggara Barat, sebuah provinsi dengan potensi melimpah ruah, kini berdiri di persimpangan jalan. Visi “NTB Makmur Mendunia” yang digaungkan oleh Gubernur Lalu Muhammad Iqbal adalah mercusuar harapan bagi masyarakat. Namun, dalam beberapa bulan awal kepemimpinan, kita, sebagai representasi suara intelektual muda dan kontrol sosial, melihat gejolak politik birokratis dan kompleksitas persoalan yang mengancam mereduksi visi mulia ini menjadi sekadar retorika. Opini ini adalah ajakan kesadaran, sebuah desakan dari mahasiswa, agar pemerintahan tetap setia pada tujuan kedaerahan, bukan terombang-ambing dalam pusaran kepentingan sesaat.
Realitas Awal Pemerintahan
Sejak Gubernur Iqbal dilantik pada Februari 2025, kita menyaksikan serangkaian inisiatif dan keputusan awal. Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah (OPD), penyehatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) melalui rekrutmen profesional, hingga upaya peningkatan infrastruktur pertanian dan program magang ke Jepang, adalah langkah-langkah yang patut diapresiasi secara konseptual. Ini mencerminkan pemahaman terhadap pentingnya efisiensi birokrasi, tata kelola profesional, dan investasi SDM.
Namun, di balik narasi positif ini, realitas lapangan tak seindah harapan. Gejolak politik dan sorotan publik mulai menyeruak. Wacana perampingan OPD, misalnya, meski bertujuan efisiensi, kerap memicu resistensi laten di internal birokrasi, berpotensi memperlambat proses adaptasi dan pelayanan publik jika tidak dikelola dengan sangat transparan dan partisipatif. Rekrutmen head hunter untuk BUMD, meskipun progresif, harus dibuktikan dengan kinerja BUMD yang konkret, bukan sekadar pergantian figur. Tanpa indikator kinerja yang jelas dan terukur, serta evaluasi berkala yang dipublikasikan, profesionalisme yang dijanjikan bisa jadi hanya ilusi.
Sektor pariwisata, sebagai tulang punggung ekonomi NTB, menjadi sorotan paling tajam. Meskipun event MotoGP Mandalika adalah magnet global, kritik pedas dari elemen masyarakat seperti “Madam Bonita” soal “kelambanan” dampak program pariwisata tak bisa diabaikan. Janji penambahan penerbangan, perbaikan konektivitas, dan penurunan biaya transportasi yang mahal masih menjadi pekerjaan rumah raksasa. Tanpa konektivitas yang terjangkau dan merata, diversifikasi event saja tidak akan mampu mengkonversi kunjungan menjadi kesejahteraan nyata bagi UMKM dan masyarakat lokal secara luas. Pariwisata berkualitas bukan hanya tentang event megah, tetapi juga tentang pengalaman wisatawan yang mulus, aman, dan berkesan dari hulu ke hilir.
Lebih jauh, isu lingkungan hidup, yang seharusnya menjadi fondasi “pembangunan berkelanjutan” NTB, masih menyisakan keraguan. Penanganan TPA Kebun Kongok yang baru sebatas perluasan landfill adalah solusi parsial, bahkan sebuah bom waktu lingkungan jika tidak diikuti dengan roadmap pengelolaan sampah modern dan holistik. Alih fungsi lahan dan deforestasi yang menyebabkan bencana ekologis seperti banjir, yang disadari oleh Gubernur sendiri, menuntut langkah penegakan hukum dan restorasi yang jauh lebih berani dan tanpa kompromi. Pernyataan dan kesadaran harus diwujudkan dalam kebijakan yang mengikat dan implementasi yang ketat.
Gejolak Politik dan Godaan Pragmatisme: Sebuah Ancaman Serius
Yang paling krusial adalah gejolak politik birokratis di awal pemerintahan. Setiap keputusan politik yang memicu perdebatan, resistensi, atau bahkan dugaan kompromi, mengikis kepercayaan publik dan menghambat konsentrasi pada agenda pembangunan. Keputusan-keputusan awal yang sarat kepentingan politik sektoral atau individu akan menjadi preseden buruk, menyeret pemerintahan ke dalam pusaran intrik yang jauh dari visi kedaerahan.
Ini adalah bahaya laten yang telah disinyalir oleh banyak pakar kebijakan publik. Dalam teori path dependency (ketergantungan jalur), keputusan-keputusan awal yang diambil dalam iklim politik yang kurang stabil dapat membentuk jalur kebijakan yang sulit diubah di kemudian hari, bahkan jika jalur tersebut tidak optimal untuk kepentingan publik. (North, 1990). Jika energi dan fokus pemerintahan terkuras untuk mengatasi gejolak internal dan politik jangka pendek, maka visi “Makmur Mendunia” yang berorientasi jangka panjang akan terpinggirkan.
Kembali ke Fitrah Kedaerahan
Maka melihat situasi dan kondisi politik regional di Nusa Tenggara Barat saat ini, perlu ada desakan kepada Gubernur Lalu Muhammad Iqbal untuk:
Kembali pada Visi dan Misi Awal secara Konsisten: Jangan biarkan godaan pragmatisme politik menggeser arah pembangunan yang telah dirumuskan. Setiap keputusan harus diukur dengan matriks dampak kedaerahan, bukan sekadar keuntungan politik sesaat.
Transparansi dan Partisipasi Publik yang Autentik: Buka ruang seluas-luasnya bagi kontrol sosial dan masukan dari akademisi, masyarakat sipil, dan tentu saja mahasiswa. Transparansi bukan sekadar mempublikasikan data, tetapi juga melibatkan publik dalam proses pengambilan keputusan, terutama pada isu-isu krusial seperti restrukturisasi OPD atau pengelolaan anggaran. Ini sejalan dengan prinsip good governance dan democratic accountability. (World Bank, 1992).
Prioritaskan Kualitas Implementasi, Bukan Hanya Inisiasi: Janji dan program akan tetap menjadi retorika tanpa implementasi yang efektif. Fokus pada pengawasan lapangan, evaluasi berkala, dan penegakan akuntabilitas bagi setiap elemen birokrasi yang tidak optimal.
Tindak Tegas Segala Bentuk Korupsi dan Kompromi Kepentingan: Korupsi dan kolusi adalah kanker yang menggerogoti setiap visi pembangunan. Gubernur harus menjadi garda terdepan dalam memastikan birokrasi bersih dan bebas dari intervensi yang merugikan daerah.
Perkuat Riset dan Kajian Ilmiah sebagai Basis Kebijakan: Dalam menghadapi kompleksitas masalah NTB, keputusan harus berbasis data dan kajian ilmiah yang kuat. Libatkan perguruan tinggi dan lembaga riset lokal untuk memberikan masukan objektif dan solusi inovatif.
Momentum adalah Kunci
Gubernur Iqbal memiliki modal besar: kapasitas intelektual, pengalaman diplomatik, dan dukungan masyarakat yang haus perubahan. Momentum awal kepemimpinan adalah waktu paling krusial untuk menanamkan fondasi yang kuat. Jika fondasi ini rapuh karena gejolak politik atau keputusan yang tidak strategis, maka upaya lima tahun ke depan akan menjadi perjuangan yang jauh lebih berat.
Sejarah akan mencatat. Apakah kepemimpinan ini akan dikenang sebagai era di mana NTB benar-benar melangkah menuju “Makmur Mendunia” dengan pondasi yang kokoh, atau justru terjebak dalam pusaran persoalan yang tak kunjung usai? Pilihan ada di tangan pemimpin. Kami, mahasiswa, akan terus mengawal, mengkritisi, dan mendorong, demi NTB yang lebih baik.
Sumber
North, Douglass C. (1990). Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press. World Bank. (1992). Governance and Development. Washington, D.C.: The World Bank. Berbagai laporan media lokal dan nasional terkait kebijakan dan dinamika politik awal pemerintahan Gubernur Lalu Muhammad Iqbal (Februari- Juli 2025).